Rasa rindu Dan Penyesalan.
"Sayang tenanglah." Aku terus menangis kencang. Masa bodoh jika saat ini Mama menganggapku cengeng. Jangankan hal itu, Papa Dokter aja sampai kewalahan menghadapi aku yang galau ini.
"Kamu harus makan sya. Dari siang kamu gak makan loh. Nanti kamu bisa sakit."
"Maaa." Aku menoleh kearah Mama sambil menghapus air mata di pipiku. "Bagaimana aku bisa makan kalau aku gak tahu dimana Raihan?"
"Ya coba cari tahu Sya. Atau Mama coba hubungi Mertua-"
"Jangan!" cegahku dengan panik. Aku masih seengukan. Tapi masih berupaya untuk membuat Mama agar tidak menghubungi Mami Aiza atau Papi Arvino.
"Loh kenapa?"
"Em. Itu, aku-"
"Kamu lagi ada masalah sama Raihan?" kini, Mama menatapku dengan tajam yang sejak tadi duduk di sampingku. Mama mencoba mencari tahu yang sebenarnya. Seketika aku gugup.
"Mama curiga. Kamu pasti ada masalah sama dia kan? Ini sudah hampir seminggu Mama tidak melihat Raihan. Ada apa sebenarnya Sya?"
"A-aku.. aku-"
"Aku apa?!" Kali ini Mama menatapku marah. "Kamu sudah dewasa Raisya! Belajarlah untuk saling
memahami dan tidak bersikap egois."
"Adila. Tenanglah. Jaga emosimu terhadap Raisya." suara Papa terdengar dan berusaha melerai kami.
"Aku tidak bisa tenang Dev. Bagaimana aku tidak marah kalau Raisya sungguh egois?"
"Tapi bukan salah aku Ma! Ini salah Raihan yang sudah membuatku cemburu." ucapku tak mau kalah.
"Sekarang Mama tanya sama kamu. Apakah Raihan ada berpaling padamu?"
"Apakah Raihan ada menaruh hati sama gadis lain?"
"Apakah Raihan ada menyatakan cintanya sama gadis lain?"
Seketika aku tertohok. Hatiku tiba-tiba sesak. Semua pertanyaan Mama tanpa aku sadari tidak pernah aku lihat pada diri Raihan. Lalu aku menundukkan wajahku. Aku malu didepan Mama yang sudah mengecewakan beliau.
"Sekarang Mama tanya satu hal lagi sama kamu. Mama harap kamu jawab yang jujur sejujurnya." Mama beralih menggenggam punggung tanganku, kali ini Mama mencoba sabar dan mengendalikan emosinya hanya untukku.
"Apakah selama ini Raihan pernah menyatakan cintanya sama kamu?" Bukannya menjawab, aku hanya menangis. Air mata kembali mengalir di pipiku. Tanpa banyak kata Mama menarikku kedalam pelukannya. Akhirnya aku menyerah. Aku menyerah terhadap sikap keras kepalaku sendiri sampai akhirnya aku melemas. Lemas karena hatiku yang begitu resah.
"Di cintai seseorang itu memang sesuatu yang berharga. Karena itulah jangan kamu sia-siakan."
"Mama tidak terlalu mengetahui hal apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian. Tapi cobalah untuk memahami kekurangan Raihan begitupun dengan Raihan yang mencoba memahami kekuranganmu."
"Sudah selesai nangis dan galaunya?" Aku melirik sebentar kearah Papa Dokter. Papa mengeluarkan
sesuatu didalam tas kerjanya sebelum benar-benar pergi dinas kerumah sakit malam ini.
"Ini. Buatmu." Aku menatap pemberian Papa dengan bingung. Sebuah pasport.
"Maksud Papa apa?"
"Mulai berkemas malam ini. Pesawat jam 08.00 pagi. Tujuan New York."
"New York?" Aku semakin bingung saja. Maksud Papa apa? Aku hendak kembali bertanya tapi Papa sudah melenggang pergi terburu-buru karena Papa memang begitu sibuk sebagai dokter.
Aku menoleh kearah Mama. "Ma, maksud Papa apa?"
"Mama juga tidak mengerti. Tapi Mama besok temani kamu kesana. Ayo kita istrirahat. Besok kita akan melakukan penerbangan berjam-jam."
❣️❣️❣️❣️
New York City
Udara begitu dingin kali ini. Aku merapatkan jaket tebal yang aku pakai hari ini. Aku masih bertanya-tanya sebenarnya ada apa? Kenapa aku harus jauh-jauh kemari?
"Ma, kita pulang aja deh."
"Kenapa?"
"Aku gak mau disini?"
"Raisya-"
"Raihan bagaimana? Kalau aku disini-"
"Ayo ikut mama! Sekarang kamu harus tahu hal yang sebenarnya." Tanpa diduga mama mengulurkan tangannya untuk menyetop sebuah taksi yang melintas. Kami memasuki taksi tersebut setelah kami keluar dari hotel tempat kami menginap nanti malam.
"Ma kita kemana lagi?"
"Nanti kamu akan tahu." Lalu aku terdiam. Aku kembali mengecek ponselku, berharap sedikit saja Raihan menghubungiku meskipun hanya harapan yang semu sampai akhirnya Taxi tiba disebuah UGD rumah sakit. Kami keluar setelah membayar ongkosnya.
"Ma kita ngapain kesini? Bukannya Papa lagi di indo? Memangnya Papa pelatihan lagi disini?"
"Bukan."
"Terus?" Mama tetap diam mengabaikanku yang sejak tadi aku kebingungan. Kami memasuki sebuah rumah sakit lalu menuju pintu lift. Kotak besi ini membawa kami ke lantai 10 setelah aku melihat Mama memencet tombol angka 10.
Ting! Suara pintu lift terbuka. Mama masih menarik pergelangan tanganku hingga akhirnya kami berhenti di salah satu kamar pasien kelas VIP. Hatiku menjadi resah campur aduk. Wajahku memucat. Tubuhku gemetar dan tanganku menjadi dingin karena gugup.
"Ma. I-ini maksudnya apa?"
"Masuk kedalam. Gunakan waktu sebaik mungkin."
"Tapi-"
"Mama akan tunggu di cafe yang ada dirumah sakit ini. Oke?" Mama tidak perlu menunggu respon dariku. Akhirnya aku menatap kepergian Mama hingga menghilang dari pandanganku. Aku beralih menatap pintu dan dengan perlahan aku membuka pintunya.
Aroma obat-obatan yang menjadi ciri khas rumah sakit menguar di penciumanku. Lalu kedua mataku terbelalak mendapati seseorang yang aku cari selama ini. Kedua mataku berkaca-kaca.
"R-Raihan?" Aku mendekati Raihan. Seketika aku terisak. Aku menutup mulut menggunakan telapak tanganku untuk meredam tangisanku. Wajah Raihan memucat. Aku tidak menyangka dia dirawat. Tapi kenapa dia tidak memberitahuku sama sekali?
Aku tak kuasa menahan rasa sedih. Rasanya hati ini begitu menyiksa. Lalu aku memeluk tubuh Raihan. Menangis dibagian dadanya. Mencoba mendengar suara detak jantung yang aku rindukan selama ini saat dia memelukku.
"Rai.. Raihan. Kamu kenapa?"
"Apa yang terjadi?"
"Maafkan aku. Maafkan aku yang mengabaikanmu." Bermenit-menit aku menumpahkan rasa sedih dan penyesalan yang mungkin tidak akan pernah cukup untuk di maafkan. Aku yang egois sekarang sadar bahwa dia begitu berarti dalam hidupku.
"Raihan.. bangun." Aku membangunkan tubuhku. Aku meraba pelan pipinya. Pipi yang aku rindukan.
"Maafkan aku. Aku menyesal."
"Tolong bangun. Aku disini." Lalu aku kembali memeluk tubuhnya. Aku hendak bangun tapi sesuatu menahanku. Aku mendongakkan wajahku hingga tatapanku bertemu dengan kedua mata Raihan.
Kedua mata Raihan terlihat sayu. Bibirnya pun pucat. Air mataku sampai menetes di pipinya. "Rai?" bisikku pelan.
"Maaf."
Aku menggeleng. "Tidak. Seharusnya aku yang minta maaf."
"Bisa tolong bantu aku duduk?" Aku mengangguk dan segera membantunya untuk duduk. Dengan nyaman Raihan bersandar menggunakan salah satu bantal empuk di punggungnya.
"Maafin aku." Akhirnya aku menunduk. "Maafin aku yang egois ini. Aku menyesal sudah menyuruhmu pergi. Aku.. aku.." Aku tidak sanggup lagi menahan hatiku yang begitu sesak. Raihan menggenggam punggung tanganku yang kini terpasang impus lalu sebelah tangannya lagi menghapus sisa air mata di pipiku.
"Aku tidak apa-apa Sya."
"Tapi.. ta-tapi Rai. Aku sudah jahat sama kamu. Bahkan aku tidak tahu saat ini kamu sakit apa sampai-sampai kamu di opname."
"Sya-"
"Aku menyesal. Aku egois. Setelah kamu pergi aku baru sadar bahwa kamu begitu berarti."
"Sya-"
"Maafkan aku. Aku memang pantas kamu tinggalin seperti sebelumnya aku-"
Tanpa diduga Raihan menarik tengkukku hingga sebuah ciuman lembut membuat bibirku terbungkam. Awalnya aku terkejut, namun secara perlahan aku memejamkan kedua mataku. Meresapi ciuman penuh kerinduan ini dengan air mata yang berlinangan.
"It's oke. I'm here. I'm here Raisya." bisik Raihan tepat didepan wajahku setelah kami saling menyudahi ciuman rindu ini. Raihan menyentuh salah satu pipiku. Kedua matanya begitu sendu hanya untuk menatapku. Kondisinya yang memang sakit membuatnya sangat lemah.
"Cantik. Wajah ini yang selalu hadir di dalam mimpiku selama disini."
"R-Raihan.."
"Aku rindu. Tapi aku takut hanya untuk menghubungi lagi. Takut kamu marah."
"Rai-"
"Dan rasanya sangat sakit. Pergi untuk meninggalkan dirimu yang tidak pernah ingin aku lakukan."
Akhirnya aku tersenyum. Aku bernapas lega. Rasa rindu ini terobati. Lalu aku memeluk tubuhnya dengan pelan. Mama benar. Raihan mencintaiku. Fathur benar. Aku adalah cinta pertamanya.
"Rai."
"Rai."
"Iya sayang?"
“Maafkan aku soal waktu itu. Aku cemburu karena kamu mengirimkan emot love kepada Fika.”
“Percayalah kalua waktu itu aku hanya salah kirim.” Akupun mengangguk lalu memeluknya erat. Membawa rasa bersalah ini dengan penyesalan atas keegoisanku.
"Kamu sakit apa?" tanyaku lagi pada Raihan,
"Hanya Tifus dan kelelahan."
"Aku khawatir sama kamu. Aku kepikiran kamu setiap detiknya. Aku menyesal." Aku mendongakkan wajahku menatap Raihan yang kini menatapku balik.
"Sya?"
"Hm?"
"Jangan pergi lagi. Tetap disini. Sama aku. Hatiku butuh kamu." Lalu Raihan mencium keningku dengan lembut sehingga aku memeluk Raihan dengan erat.
❣️❣️❣️❣️
NEXT CHAPTER 55 KLIK LINK DIBAWAH INI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar