Aiza terlihat mondar-mandir dan gelisah tidak karuan. Aiza mengigit ujung kukunya. Saat ini ia berada di balkon kamarnya. Ashar baru saja telah berakhir dan saat ini jam menunjukkan pukul 16.00 sore.
"Kalau kamu lagi mengkhawatirkan Leni, dia ada dibawah. Sudah berhasil kabur meskipun Kumala gagal menangkapnya lagi saat kabur."
Aiza menoleh kebelakang. Ia mendengarkan suara Arvino yang tiba-tiba hadir begitu saja. Pria itu baru saja pulang dari mesjid dan masih mengenakan pakaian gamis panjang dan pecinya.
Arvino terlihat tampan. Itu yang Aiza pikirkan.
Aiza mengabaikan Arvino, ia malah lekas keluar kamar dan segera mendatangi Leni. Arvino yang melihatnya hanya terdiam dan memilih duduk menghadap kiblat sambil berdzikir.
"Aunty!!"
Leni menoleh kearah Aiza ketika saat ini ia sedang duduk bermain boneka bersama keponakan Aiza di teras rumah bernama Hafizah.
Leni segera berdiri dan memeluk Aiza dengan erat. Melepas rasa rindu selama beberapa hari karena sempat di sekap oleh komplotan Kumala.
"Aunty! Aunty bagaimana? Aunty baik-baik aja kan?"
Leni mengusap punggung Aiza. "Saya baik-baik aja Aiza. Alhamdulillah komplotan kumala sudah di amankan polisi."
Aiza melepaskan pelukannya. Sedikit memberi jarak diantara mereka. "Benarkah? Lalu.. bagaimana dengan kumala?"
"Dia kabur lagi." ucap Leni dengan serius. "Kumala benar-benar wanita yang tidak bisa di abaikan. Saat ini pihak kepolisian sudah mencarinya sebagai buronan. Dia di kenai pasal berlapis. Penganiayaan terhadap dirimu sehingga menyebabakan keguguran. Penculikan terhadap saya dan ancaman-ancamanya yang menganggu ketenanganmu melalui pesan singkat."
Aiza mengangguk. "Beberapa jam yang lalu aku dan mas vino dimintai keterangan mengenai kasus Kumala di kantor polisi."
"Aiza sudah kesana? Sama Tuan Arvino? Apakah Aiza sudah baikan?"
Aiza terdiam. Ia bingung harus menjawab apa sementara ia belum bisa menerima kenyataan bahwa selama ini ia di kerjain secara keterlaluan oleh suaminya sendiri.
"Aunty, aunty, aunty!"
Aiza dan Leni menoleh kearah Hafizah yang saat ini sedang menggendong bonekanya.
"Tadi Om Afnan bilang. Kalau Aunty Aiza berbaikan dengan Om Vin, Om Afnan akan minta dibuatkan warung bakso."
"Em itu tidak benar!"
Tiba-tiba Afnan hadir begitu saja dan segera meraih pergelangan tangan Hafizah. "Sayang, ayo kita kedalam ya. Mama mencarimu."
Hafizah mengangguk sambil menggendong boneka kesayangannya. Lalu berjalan bersama Afnan dan kembali menoleh ke belakang.
"Aunty! Tadi Om Afnan bilang katanya Om suka sama Aunty Leni!"
"Fizah! Kamu ini masih kecil-"
"Katanya ai lop yu."
Dengan kesal Afnan menggendong tubuh Hafizah dan segera membawa keponakannya yang centil itu masuk kedalam rumah.
Aiza mengerutkan dahinya. Kenapa Hafizah tiba-tiba mengatakan hal itu? Apalagi ucapan anak kecil biasanya jujur. Aiza beralih menatap Leni yang ketangkapan basah menatap Afnan. Jika di pikir, mereka cocok juga meskipun Leni berusia 35 tahun sementara Afnan berusia 30 tahun.
Aiza berdeham dan secepat itu Leni segera menatapnya. Sebelum Aiza berpikir yang tidak-tidak, Leni kembali berucap.
"Maaf Aiza. Bukannya saya ikut campur. Em ada baiknya Aiza segera berbaikan dengan Tuan Arvino."
"Kenapa?"
"Maafkan saya Aiza. Setidaknya untuk kedepannya nanti kondisi Aiza membaik dari sebelumnya. Aiza sedang hamil. Aiza butuh sosok suami agar tidak stress dan mengalami tekanan lagi."
"Tapi Aunty.. dia benar-benar keterlaluan." ucap Aiza dengan tidak setuju.
"Biar bagaimanapun dia sudah banyak berjuang untuk semuanya. Maafkan lah dia Aiza. Mungkin maksud dia baik meskipun caranya salah ketika cara memberi kejutan buat Aiza keterlaluan. Randi sudah menceritakan semuanya."
Aiza menundukan wajahnya. "Aku.. aku tidak tahu bisa memaafkannya atau tidak."
"Saran saya maafkan saja." Leni menepuk pelan bahu Aiza. "Saya tau, semarah apapun Aiza. Aiza tetap mencintai tuan Arvino. Maafkan saya berkata seperti ini, jangan lama-lama kalau lagi marahan. Tidak baik. Biar bagaimanapun Tuan Arvino suami Aiza yang harus Aiza hormati. Em saya pergi dulu ya Aiza. Mungkin Aiza butuh waktu untuk berpikir. Saya mau istrirahat dulu. Permisi."
Aiza mengangguk dan kali ini ia mengizinkan Leni untuk berisitirahat. Tiba-tiba Aiza merasakan hatinya sesak dengan ucapan Leni barusan yang ada benarnya.
"Astaghfirullah, apa yang baru saja aku lakukan? Gara-gara emosi aku sudah melakukan dosa dengan mengabaikan suamiku sendiri."
Aiza segera memasuki rumahnya lagi. Ia menaiki anak tangga dan membuka pintu kamarnya. Aiza terdiam. Ia menutup pintu kamarnya dan melangkah pelan. Dilihatnya Arvino sedang duduk menghadap kiblat sambil berdzikir.
Arvino masih berdzikir menggunakan tasbihnya hingga sebuah pelukan dari belakang membuatnya terkejut. Arvino menoleh kesamping dan melihat Aiza menyenderkan pipinya di punggungnya. Arvino hanya diam dan melanjutkan dzikirnya yang sebentar lagi akan selesai.
Setelah selesai, Arvino menggenggam punggung tangan Aiza dengan lembut hingga membuat Aiza berpindah posisi duduk di hadapan suaminya.
"Mas.. aku.. aku minta maaf."
Aiza menunduk wajahnya. Ia malu hanya untuk menatap Arvino karena semua kesalahannya.
"Aku salah.. maafkan keegoisanku. Aku harap mas ridhoi aku. Aku tau niat mas baik meskipun cara memberi kejutannya membuatku marah dan emosi. Tapi aku tidak boleh begitu. Semarah apapun dengan mas. Ntah kenapa aku tidak bisa bersikap seolah-olah tidak perduli."
Aiza memegang tangan Arvino. Bahkan setetes air mata mengenai punggung tangan suaminya.
"Maafkan aku mas. Aku tidak boleh terus-menerus memandang kekurangan mas. Biar bagaimanapun aku harus tetap berbakti, aku tidak boleh pergi, aku harus melayani mas seutuhnya, dan aku takut Allah tidak meridhoiku."
Dengan perlahan, Arvino meraih dagu Aiza hingga tatapan mereka bertemu.
"Mas-"
"Sedikitpun aku tidak marah denganmu Aiza." tatapan Arvino melembut. "Seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Maafkan atas semua kesalahanku. Dari dulu aku memang yakin kalau kamu bisa menjaga diri dari yang bukan mahrammu. Begitu tau Afnan adalah pamanmu, aku bernapas lega karena istri yang aku cintai ini sejak dulu menjaga kesuciannya hanya untukku."
Arvino memegang perut Aiza. "Alhamdulillah setelah sekian lama Allah mempercayai kita dengan memberi keturunan. Ada Raihan disini."
"Raihan?"
Arvino tersenyum tipis. "Insya Allah. Muhammad Raihan Azka."
"Nama yang bagus."
"Semenjak aku tau jenis kelaminnya laki-laki melalui Randi yang mencari tahu waktu itu, aku sudah mempersiapkan namanya. Aku minta maaf ya. Aku tau istriku ini hanya Mencintaiku. Terima kasih sudah Mencintaiku."
Air mata mengalir di pipi Aiza. Perasaan rindu yang selalu tertahan kini ia lampiaskan dengan mencium pipi Arvino dengan lembut.
"Aku juga minta maaf. Awalnya aku gak nerima maaf dari mas karena takut dengan ancaman Kumala. Seharusnya aku gak boleh gitu karena ada Allah bersama kita."
Arvino membawa Aiza kedalam pelukan. "Kamu benar. Mas memang gak bisa lihat kamu sedih sedikitpun. Begitu tau kamu mengkhawatirkan suatu hal, mas segera mencari tahu penyebabnya dan mas juga yang memproses semuanya dengan pihak kepolisian bersama Randi."
Aiza mengangguk. "Aku kangen sama mas. Dari dulu pengen seperti ini."
"Mas juga kangen. Ugh, kamu ngegemesin." bisik Arvino semakin erat memeluk Aiza. "Siap buat liburan babbymoon?"
"Kemana?"
"Tanah kelahiran bunda."
"Di Amerika?"
"Iya sayang."
Aiza semakin erat memeluk erat Arvinonya. Raut wajahnya sudah merona merah karena perasaan bahagia. Arvino mengelus perut Aiza. Memanjakan kehamilannya. Hal yang Aiza inginkan sejak dulu.
"Mas.."
"Ya?"
"Aku ingin sesuatu."
"Katakan saja."
"Tapi mas jangan marah ya?"
"Memangnya apa?"
"Bikinin om Afnan warung bakso atau restoran bakso. Biar dia gak jadi pengangguran."
"Kok gitu?"
"Tiba-tiba aku terpikir hal itu mas. Mas kan kaya. Banyak uang. Ayolah mas berikan sedikit uangmu buat bikin usaha bakso untuk om Afnan. Kasian mas, anggap saja sebagai penghasilan modal nikah om Afnan suatu saat. Dia itu sudah menganggur selama 3 bulan karena resign dan belum mendapat panggilan kerja dari tempat lain. "
"Baiklah baiklah.. mas akan memberi hadiah sebuah restoran untuknya."
Dan Aiza terkekeh geli. Arvino pun tidak mempermasalahkannya karena sedikit banyaknya Afnan sudah banyak membantunya.
"Terima kasih mas. Aku mencintaimu. Sini cium dulu."
Dan Aiza mendekatkan wajahnya hanya untuk mencium pipi Arvino lagi.
Ah untung saja bakso, hal yang sangat mudah bagi Arvino. Jika pria itu menyukai koleksi mobil mewah senilai milyaran rupiah, mungkin Arvino akan memutilasi pria itu karena sudah menguras hartanya.
****
Afnan gak rugi ya, bantuin keponakannya baikan aja dapat restoran bakso 🤣🤣🤣
Lah, author yang nulis kisah mereka dapat apa dari Arvino? Ah gak deh, dapat antusias dan dukungan dari kalian yang bucin sama mereka aja author sudah bersyukur kok 😘😘😘
Semoga bisa baca ya part ini. Gak tau deh sampai kapan Wattpad erornya 😖
Sehat terus buat kalian ya. Lancar puasanya dan terima kasih sudah baca part ini.
With Love 🖤
LiaRezaVahlefi
LiaRezaVahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii
https://www.liarezavahlefi.com/2020/01/chapter-79-mencintaimu-dalam-diam.html
lia_rezaa_vahlefii
LANJUT CHAPTER 79. KLIK LINK NYA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar