Arvino masih menatap Aiza dengan datar. Dingin serta tanpa ekspresi. Aiza semakin ketakutan apalagi Arvino barusan menghubungi Leni bawah pria itu akan bersamanya.
Jika sebelumnya Aiza akan senang bila Arvino akan pulang bersamanya berbanding terbalik dengan sekarang. Tentu saja ia tidak ingin. Sudah cukup. Sudah cukup atas semuanya.
Bila ada pilihan antara pulang jalan kaki atau bersama Arvino maka Aiza akan memilih pulang jalan kaki dalam keadaan tenang tanpa ada perasaan sakit ketika mendekat perkataan sinis dari pria itu.
Arvino tak mau membuang waktu lagi. Untung saja jam mengajarnya sudah berakhir dan segera menarik pergelangan tangan Aiza keluar toilet.
"Le-lepasin aku. Aku takut." cicit Aiza.
Aiza berusaha melepaskan genggaman tangan Arvino pada pergelangan tangannya tapi pria itu malah semakin erat memegangnya.
"Mas-"
Sesampainya di parkiran mobil, Arvino menoleh kebelakang menatap Aiza dengan tatapan dingin. Lalu Aiza memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin berlama-lama menatap Arvino karena takut.
"Diam dan menurut."
Arvino membuka pintu mobilnya untuk Aiza kemudian Aiza pun masuk di ikuti dengan dirinya yang mengemudikannya menuju rumah.
Tanpa Arvino sadari, dari jarak jauh Leni memperhatikan dengan curiga. Ia pun segera memasuki mobilnya dan mengendarai dengan mengikutinya dari belakang.
Tanpa Arvino sadari, dari jarak jauh Leni memperhatikan dengan curiga. Ia pun segera memasuki mobilnya dan mengendarai dengan mengikutinya dari belakang.
Kali ini Arvino memilih rumah sebagai tujuannya. Bukan apartemen seperti biasanya. Tubuh Aiza gemetar. Di ikuti dengan kedua tanya yang bergetar kecil.
Lampu menyala merah begitu berhenti di persimpangan 4. Arvino menatap Aiza yang seengukan dan menyalurkan rasa takutnya dengan saling bertautan tangan.
Arvino tidak memperdulikannya hingga akhirnya ia pun kembali mengemudikan mobilnya saat lampu menyala hijau lalu menatap spion tengah sambil tersenyum sinis karena tahu bila Leni mengikutinya.
****
Mobil sudah tiba di parkiran halaman rumah. Arvino masih memegang pergelangan tangan Aiza tanpa berniat melepaskannya sedikitpun.
Suara deringan ponsel berbunyi dan Arvino segera mengangkatnya lalu menjadi kesempatan buat Aiza kabur. Arvino terkejut melihat Aiza menaiki anak tangga lalu suara pintu tertutup dengan nyaring. Ia hanya menatap datar dan mengabaikannya.
Perasaan tidak tenang meliputi hati Aiza. Ia tersandar lemah di balik pintu. Mencoba kuat, ia pun memilih menaiki tampat tidur lalu menyelimuti dirinya dengan takut.
Tubuh Aiza gemetar ketakutan. Jantungnya berdegup sangat kencang. Aiza cemas. Arvino sekarang berada di dalam rumahnya yang tentunya posisi pria itu berada didekatnya. Ia belum siap mendengar hal apapun lagi yang sangat kasar.
Pintu terbuka dan Aiza segera menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Tak perduli jika pria itu mungkin menganggapnya bermain petak umpet. Tapi ini serius. Ia sedang tidak bercanda.
Suara langkah kaki sudah dekat. Aiza bisa merasakan keberadaan Arvino di sampingnya hingga akhirnya pinggiran tempat tidur melesak.
"Beginikah cara kamu menghadapiku Aiza?"
Aiza terdiam. Ia mencengkram kuat selimut tebalnya. Suara Arvino begitu dingin seperti yang ia takutnya. Selimut tersibak dengan kasar, Aiza membangunkan posisi tubuhnya lalu menjauh dari Arvino.
"Aku bukan monster." sinis Arvino.
Aiza masih diam. Ia memeluk dirinya sendiri sambil memegang perutnya. Arvino menatapnya lalu menghela napas dan mengabaikan sambil menaiki tempat tidur.
"Jangan mendekat!" ucap Aiza ketakutan. "A-aku takut sama mas."
Arvino masih menatap Aiza dengan datar lalu memegang bahu Aiza.
"Apa yang kamu takutkan?" tanya Arvino dingin.
Aiza meneguk ludahnya dengan tubuh gemetar. "A-aku.. aku.. aku takut di.. aku takut di marahi sama mas lagi."
Arvino pun akhirnya mengulurkan tangannya untuk membuka hijab Aiza. Aiza sempat menghindar karena sempat berpikir Arvino akan memukulnya. Padahal sebenarnya tidak.
"Aku hanya ingin melepaskan hijabmu. Hijabmu kotor. Belum kamu ganti."
Dan Aiza hanya mampu terdiam. Dengan perlahan Arvino melepaskan hijab Aiza. Kemudian merapikan helaian-helaian rambutnya lalu menyelipkannya di belakang telinga.
Arvino meraih tisu basah, membersihkan sisa-sisa noda yang menempel oleh siraman kecap dan soft drink para mahasiswi tadi
yang melengket di pipi Aiza. Awalnya tubuh Aiza menegang hingga secara perlahan, Aiza rileks. Ia masih menundukan wajahnya sementara Arvino sudah mengelap bagian tubuhnya yang terkena siraman terutama di tangannya.
yang melengket di pipi Aiza. Awalnya tubuh Aiza menegang hingga secara perlahan, Aiza rileks. Ia masih menundukan wajahnya sementara Arvino sudah mengelap bagian tubuhnya yang terkena siraman terutama di tangannya.
Bebagai macam pemikiran bergerumul di benak Aiza. Kenapa tiba-tiba Arvino bersikap seperti ini? Apalagi sekarang pria itu membawanya ke walk in closet. Menyuruhnya berganti pakaian lalu meninggalkan begitu saja.
Aiza menoleh ke arah pintu menatap kepergian Arvino beberapa menit yang lalu. Lalu menundukan wajahnya.
"Aku bodoh. Aku benar-benar bodoh. Seharusnya aku gak perlu berharap apapun lagi selama Mas marah padaku.." lirih Aiza.
Aiza segera keluar dari walk in closet karena ia butuh udara segar. Seharian ini begitu melelahkan baginya. Aiza membuka pintu balkon. Mengirup udara siang yang kebetulan cuaca sedang mendung.
Aiza menatap langit. Awan begitu tebal dan mulai menghitam. Suasananya begitu sendu. Rasa ketakutan itu hilang dan kini tergantikan oleh rasa rindu. Arvino sudah ada dirumah ini dan menjadi kesempatan buatnya untuk bermanja dan menumpahkan segala curahan hatinya hari ini layaknya seorang istri yang sudah lama tidak berjumpa dengan suaminya.
Tapi ia bisa apa? Hanya perasaan pedih yang nantinya ia dapatkan bila melakukan hal itu pada Arvino. Aiza merasa lelah. Ia butuh istirahat dan alangkah baiknya ia akan tidur sejenak sebelum ashar tiba.
Aiza terkejut. Kedua matanya membulat seketika. Dengan tubuh gemetar ia berpegangan oleh pinggiran pembatas balkon. Bagaimana itu tidak terjadi jika ia tidak menyangka kalau Arvino berdiri belakangnya sambil menyengirkan bibirnya bagaikan orang bodoh dengan santai sementara dikanan kiri tangannya terdapat kue dan kado.
"M-mas?"
"Hai sayang. Barakallah fii umrik."
"Ha?"
Arvino terkekeh geli melihat Aiza kebingungan. Ia pun meletakkan kado dan kue tersebut ke meja kecil yang berada di samping lalu berjalan mendekati Aiza hingga berdiri saling berhadapan.
Arvino mengulurkan tangannya menyentuh pipi Aiza yang sudah lama ia rindukan. "Sudah lama sekali. Mas rindu sama kamu."
"Padahal baru beberapa hari kita ngamebekkan. Tapi aku sadar aku salah."
Aiza masih diam tanpa bereaksi. Mendadak pikirannya down. Dengan lembut Arvino memeluknya sangat erat. Sebelah tangannya mengelus perut Aiza.
"Bagaimana putra kita? Sehat?"
"M-mas.. i-ini-"
Arvino menitikan air matanya untuk pertama kalinya ia mengelus perut buncit Aiza. Sungguh ia begitu merindukan Aizanya, putri malunya yang suka bersemu merah, istri tercinta yang suka pelupa dan pasangan hidupnya yang ia cintai.
Arvino melepaskan pelukannya. Ia mengangkup kedua pipi Aiza.
"Masya Allah. Alhamdulillah kamu semakin cantik sekarang di kehamilanmu." Arvino mencium kening Aiza. Lalu kembali memeluknya.
"Maaf ya yank." bisik Arvino.
Aiza sedang gelisah. Ia benar-benar kebingungan.
"4 bulan berlalu akhirnya masa-masa ngerjain kamu berakhir."
"Apa?" Aiza melepaskan pelukan Arvino dan menatapnya tak percaya.
"Apanya yang kenapa?"
"Jadi selama ini mas ngerjain aku?"
Arvino terlihat salah tingkah dan menggaruk tengkuk lehernya.
"Em itu-"
"Jadi selama ini mas gak salah paham? Jadi selama ini mas cuma berpura-pura?"
"Ya.. gimana ya?" Arvino menatap Aiza lalu terbahak. "Ya habisnya kata Naura selama ini kalau kamu ulang tahun gak ada yang kasih kejutan gitu." cengir Arvino tanpa merasa bersalah. "Gimana? Gregetkan?" Arvino menaik turunkan alisnya.
"Lebih tepatnya Mas tahu kalau pria itu adalah Pamanmu. Adik kandung Ibumu."
"Awalnya Mas tidak yakin sih kenapa dengan mudahnya kamu mau disentuh gitu sama dia. Mas tidak mau ambil resiko, tanpa sepengetahuan kamu kemarin malam akhirnya Mas pergi mencari tahu karena sudah tidak tahan dengan semua ini."
"Sekarang mas tahu kalau Afnan adalah pamanku?" lirih Aiza. Dan air mata kembali meluruh di pipinya.
"Iya mas tahu. Dari tadi kamu nanya terus. Gak mikir buat meluk dan cium mas gitu?" tanya Arvino dengan dramatis.
Aiza tidak menjawab. Ia mendekati Arvino dan kini berada di depannya dengan posisinya saling berhadapan.
"Sini dong peluk. Ah atau mau coba kue dulu?" Arvino meraih kue Aiza lalu menyerahkannya didepan Aiza.
"Mas tau dari Naura kalau kamu suka dengan hal-hal yang namanya Disney Princess."
"Mas tau dari Naura kalau kamu suka dengan hal-hal yang namanya Disney Princess."
Aiza menerima kue tersebut. Kue yang sangat cantik.
"Gimana? Suka kan? Apalagi-"
Dan Arvino terkejut bukan main. Tanpa diduga Aiza melemparkan kue ultah tersebut ke bagian dada bidangnya. Aiza pun mencomot kue itu menggunakan tangannya lalu ia arahkan ke wajah Arvino yang kini sudah di penuhi cake Aiza.
"Ini. Kue buat mas!"
Arvino mengerjap-ngerjap kedua matanya dengan bingung. "Loh kok mas di giniiin sih? Gak di cium? Di peluk atau- "
"Aku kecewa sama Mas. Kenapa Mas tidak mencari tahu sejak dulu dan baru kemarin melakukannya?" kesal Aiza
"Aiza-"
"Dan dengan mudahnya Mas anggap semua ini adalah drama mewek untuk ngerjain dihari ulang tahunku. Berulang kali aku mau menjelaskan kesalahpahaman ini Mas selalu saja menghindariku, memotong pembicaraanku. Dan akhirnya mas tidak tahan dengan semua ini lalu mencari tahu dan.."
Aiza kecewa. "Dan begitu mengetahui kebenarannya degan mudahnya Mas bilang kalau semua ini anggap saja lelucon untuk mengerjaiku?"
Arvio tergagap. "Tapi, Ta-tapi Aiza-"
"Cara Mas benar-benar keterlaluan."
Dan Aiza meluruh kelaintai. Aiza menangis. Sementara Arvino hanya terkekeh geli bagaikan orang bodoh. Aiza tak habis pikir ada apa dengan isi otak suaminya selama ini?
"Aku marah sama Mas. Aku ingin bertemu Kak Naura dan keponakanku."
"Tapi Mas kangen. Gimana dong?"
Lalu tangis Aiza pun semakin pecah dan nyaring. Dengan perlahan Arvino memeluk tubuh Aiza. "Oke.. oke baiklah. Sudah, sudah, Maafin aku ya sayang. Sini cium dulu. Ya Allah, sudah 23 tahun kok malah cengeng sih?"
Lalu Aiza sudah tidak bisa memendam perasan kesalnya bertubi-tubi selama ini. Ia pun keluar dari kamarnya. Arvino ingin mengejar Aiza tapi ia mengurungkan niatnya karena tidak mungkin mengejar Aiza dalam keadaan penampilan tubuh dan wajahnya yang sudah terkena cream kue ulang tahu seperti ini. Pintu kembali terbuka. Arvino menoleh.
"Loh kok balik? Kamu berubah pikiran ya? Tuh kan, sudah Mas bilang, Mas ini ngangenin. Apalagi-" Dan Arvino salah sangka. Aiza kembali karena ingin mengambil kadonya yang tertinggal.
"Hei sayang.. Ini Mas gimana? Aiza kamu benar-benar tidak mau rugi ya?"
Aiza tidak memperdulikannya. Arvino benar-benar keterlaluan karena sudah menganggap semua ini lelucon.
"Minta maaf sama Allah karena Mas sudah salah. Kalau perlu segera bertaubat dan perbanyak istighfar "
Semua terasa masuk akal dan benar! Pantas saja Afnan tiba-tiba menghilang tanpa kabar karena pamannya itu sudah bekerja sama dengan Arvino. Arvino benar-benar berakting sedemikian rupa untuk membuatnya hampir saja menyerah. Aiza sudah keluar dari kamarnya dengan raut wajah sembap.
"Aunty! Aunty!"
Leni segera menghampiri Aiza. "Aiza ada apa? Aiza kenapa?!"
"Aku ingin pulang. Sekarang!"
"Kemana Aiza? Aiza mau kemana?!"
"Antarkan aku ke Balikpapan. Aku ingin pulang!" Aiza mengehentakan kedua kakinya dengan cepat dan kasar. Amarahnya begitu memuuncak. Leni pun sampai kelabakan bahkan kewalahan mengikuti Nona mudanya dari belakang.
"Aiza tunggu sebentar. Apakah Aiza sudah meminta izin pada Tuan Arvino."
"Sudah Aunty sudah! Cepat antar aku. SEKARANG!"
Jangan ragukan the power of bumil yang sedang marah saat ini. Jika saja Arvino bukan suaminya, mungkin saat ini juga Aiza ingin memukul wajah Arvino menggunakan teflon yang ada didapur.
Dan jika saja Arvino bukan suaminya, mungkin Aiza sudah memukul wajah Arvino menggunakan teflon yang ada didapur.
****
Sudah author bilang, author punya cara sendiri buat kalian baper dari jaman stay with me, just friends, better with you, hate or love untuk kisah happy ending.
Makanya dari awal, jgn suka nyimpulkan ini itu atau boleh out kalau gak tahan sama alurnya. Tapi kalau kalian out begitu, ya kalian akan rugi gak ikutin bapernya sampai akhir hhe 😁
Tapi makasih ya sudah baca sampai sekarang. Terima kasih yang sudah mewek.
Sini cium dulu 🤣🤣
With Love
LiaRezaVahlefi
LiaRezaVahlefi
Instagram :
lia_rezaa_vahlefii
LANJUT CHAPTER 73. KLIK LINK NYA :
Sumpah sih, gak lucu tau!!! Kalo aku jadi Aiza, bakal lakuin hal yang sama. Apalagi dengan kondisi Aiza yang lagi hamil.
BalasHapus